Kamis, Juni 26, 2008

Kangen Baturaja-Ku

Ngomongin soal Lebong... udah. Sekarang saatnya ngomongin daerah tempat tinggal orangtuaku, kampung halamanku juga. The Kingstone City . Yupz... Baturaja namanya. Ibukota kabupaten OKU (sekarang OKU pecah jadi 3, yaitu OKU (Baturaja), OKU Timur (Martapura), dan OKU Selatan (Muara Dua). Dengan demikian, Baturaja termasuk kota lama (baca: kabupaten lama).

Aku tidak lahir di Baturaja, tapi sebagian besar umurku kuhabiskan di sana. Di sana lah kedua orangtuaku tinggal. Di sana lah rumah yang paling nyaman bagiku berdiri. Dan di sanalah tempat yang senantiasa aku ingat saat aku jauh, tempat yang aku nantikan untuk menginjaknya kembali ketika aku merantau.

Baturaja adalah ibukota kabupaten. Tidak ada mall, tapi ada banyak mini market dan toserba. Sekedar Ramayana... ada. KFC juga ada. Baturaja juga punya Islamic Centre, gedung olahraga, juga kolam renang standar internasional (katanya...). Sekedar ingin mencari sepatu-sepatu atau baju-baju bermerek... bisa. Angkot... jangan ditanya jumlahnya. Buanyak... Ojek... bertebaran di jalan-jalan, warna warni lagi, soalnya ojek-ojek itu punya ciri, tukang ojeknya menggunakan rompi kebesaran dengan warna-warna mencolok. Hhh, benar-benar jauh dengan Lebong, padahal sama-sama ibukota kabupaten... (stop ngebanding2in!).

Sebenarnya kenapa aku selalu ngebanding-bandingin tempat tugasku dengan tempat tinggal orangtuaku... Jawabannya adalah karena di daerahku sendiri (Baturaja) aku punya fasilitas. Aku gak perlu pusing cari makan di Baturaja karena selalu ada makanan di rumah. Sementara di Lebong aku harus jadi ‘ayam’ yang cari makan kesana kemari (itu mah dasar aku males ajah... ). Di Baturaja juga aku gak perlu pusing-pusing nyari angkot (wong angkotnya tidak sedikit), jalan-jalan sekeluarga juga enak, makan malam di luar bersama (di Baturaja ada banyak rumah makan lesehan), atau sekedar mengunjungi saudara juga gak perlu pusing.

Dan di Baturaja, di rumahku... aku bisa bikin es batu sepuas hatiku....

Aku kangen... Aku rindu...
Kangen semuanya, wajah-wajah orang terdekatku, suasana rumahku, kucing-kucing lucu teman ibuku...
Tapi aku tidak boleh lari dari kenyataan. Kenyataan bahwa kini aku tidak sedang berada di sana. Biarlah aku menyimpan rinduku, dalam relung hatiku yang paling dalam... karena kuyakin akan ada saatnya rindu itu tersalurkan dengan sempurna.

Lebong in My Mind

Minggu ini adalah minggu kedua aku menginjakkan kaki di kabupaten yang bernama Lebong. Sebuah kabupaten baru di Propinsi Bengkulu, pecahan dari Kabupaten Rejang Lebong (ibukotanya Curup). Kabupaten Lebong ibukotanya Muara Aman. Di kota inilah aku bertugas. Kota?? Tentu... Bukankah ibukota kabupaten itu sudah termasuk kategori kota. Tapi...

Perjalanan ke Muara Aman dari ibukota propinsi melalui Curup. Aku ingat perbatasan Rejang Lebong (Curup) dengan Lebong adalah suatu tempat yang namanya Air Dingin. Setelah travel berhenti di tempat itu (untuk istirahat), selanjutnya masuklah aku di wilayah Lebong. Kecamatan pertama yang menyambutku adalah Rimbo Pegadang. Aku gak tahu kecamatan tersebut seperti apa sebenarnya. Yang aku tahu adalah sepanjang jalan dipenuhi hutan rimba, semak-semak, bukit, dan jurang. Jalannya berkelok-kelok (lebih berkelok daripada Puncak), sempit, dan gelap. Kalo driver-nya gak pengalaman, waah bahaya...

Dalam hati aku berpikir, inikah Lebong? Hmm, benar-benar masih alami (wong hutan semua, hehehe). Dua jam kemudian sampailah aku di pusatnya Lebong, Muara Aman. Aku kembali berpikir, beginikah Muara Aman? Aku tahu dan sadar bahwa Lebong adalah kabupaten pemekaran. Jadi, aku juga tidak berharap akan menemukan pusat kota yang ramai, dipenuhi mall, dan jejeran toserba. Tapi tak bisa dipungkiri, aku syok juga melihat kenyataan bahwa aku akan berada di sini, tinggal di sini, untuk waktu yang aku sendiri tidak tahu sampai kapan.

Satu kata sebagai kesan pertama untuk Muara Aman... ndeso. Gak ada toserba (apalagi mall), gak ada warnet (isunya sih ada satu, tp gak jelas gitu), gak ada angkot, adanya angdes, hehe, ada juga ojek gandeng (becak motor) yang jumlahnya lumayan lah. Trus ada juga kok angkot (baca: angdes) yaitu mobil yang terbuka di bagian belakang, tapi kayanya jumlahnya terbatas degh, nyatanya aku jarang banget liat. Bener-bener masih desa dan jauh dari fasilitas. Namun demikian, sinyal indosat (terutama gprs-nya) kuat, inilah yang membuatku lumayan bahagia internetan di Lebong, soalnya sepertinya masyarakat sini gak banyak yang ngenet, jadi kan gak rebutan bandwidth, wekekekek. Selain itu, jika tanpa satelit (pake antena biasa), di Lebong masih bisa nonton RCTI. Coba kalo di kabupaten lain, puas-puas ajah nonton TVRI doang.

Bagaimana kantor BPS Kabupaten Lebong? Hmm, kantornya masih ngontrak, tapi nyaman. Ruangannya gede dan (lumayan) banyak, bersih, dengan jumlah pegawai cuma 5 orang termasuk aku, dan 1 penjaga kantor. Tidak ada KSK di sini. Kemarin sih ada 1, tapi awal Juni dah pensiun. Bayangkan gimana tuh kerjanya tanpa KSK. Bener-bener pegawainya kerja rodi (lebay neh ceritanya), kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Tapi nyatanya, kerjaan semua beres...

Di kantor fasilitasnya lumayan. Jumlah meja dan kursinya melebihi jumlah pegawai yang ada. Masih baru-baru lagi. Aku yang baru datang ajah dikasih meja Kasie, hehehe. Komputer juga cukup. TV ada, dispenser tersedia, bahkan ada kompor gas (tapi pernah kucoba nyalain... ternyata gak ada gasnya, mungkin karena gak ada yang masak kali ya). Trus, ada 1 motor dinas (tadinya dipake KSK) yang nganggur lalu diserahin ke Yuk Meli (aku nebeng ajah...). Oh iya, Kepala Kantor-nya cowok, Kasubag TU juga cowok, Kasie IPDS juga cowok (STIS angkatan 40), penjaga kantor juga cowok (ya iyalah...), ceweknya cuma Yuk Meli (STIS angkatan 44), dan aku.

Hhh, begitulah Lebong dan begitulah BPS Kabupaten Lebong. Menurutku sebagai kabupaten baru Lebong punya banyak potensi, tapi sayang belum dikelola dengan maksimal. Liat ajah, jalan di pusat kota (di Pasar Muara Aman)-nya jueleknya minta ampun, kaya bukan jalan tapi lorong. Trus, jalan raya di sepanjang Lebong juga sempit. Belum terlihat ada pembangunan yang berarti karena tata kota masih semrawut.benar-benar daerah berpotensi yang terabaikan. Memang Lebong bukan daerah jalur perlintasan, jadi gak dilalui truk-truk atau bus-bus. Tapi bukan berarti pemerintah harus kehilangan kreativitas untuk membuatn daerahnya menjadi menarik untuk dikunjungi bukan?!

Oke, kita lihat saja perubahan apa yang akan terjadi pada kabupaten ini beberapa tahun lagi. Sebagai statistisi aku hanya bisa berusaha maksimal ikut membangun melalui naungan instansi BPS (cieeee cieeee.....). Tapi aku kembali bertanya, sampai kapan yah aku bakal di sini???!

Aku Tidak Punya Impian

Salah seorang teman pernah bercerita betapa ia punya banyak impian. Ada yang sudah tidak mungkin terwujud, tapi ada juga (banyak malah) yang masih mungkin. Aku juga melihat betapa ia begitu antusias dan ambisius dalam mengejar dan mewujudkan mimpinya. Aku melihat usahanya. Aku juga merasakan semangatnya. Begitu hidup, sehingga terlihat bahwa hidupnya lebih terarah karena ia punya target dan rencana.

Semakin sering dia bercerita tentang mimpinya, semakin sering juga aku berpikir, seperti apa impianku?! Aku bingung. Semakin aku berusaha menggali, semakin aku tidak menemukan jawaban. Sekedar jawaban atas pertanyaan “Apa impianku?”.

Apa yang kuinginkan dalam hidup ini? Apa rencanaku? Apa targetku? Kenapa aku sulit menjawabnya... Yang aku tahu hanyalah aku ingin hidup bahagia. Bahagia karena kedua orangtuaku bahagia, juga bahagia karena hidupku memang bahagia. Hanya itu. Tidak ada yang spesifik, tidak ada rencana detil, juga tidak ada target.

“Wee, kapan kamu mau merid?” atau “Wee, 2 tahun lagi apa targetmu?”.... Hhh, aku kelimpungan sekedar untuk menjawab pertanyaan tersebut. Beneran aku belum punya rencana, aku belum ada target. Menyedihkan... Bahkan aku tidak tahu harus membawa hidupku ke arah mana. Aku benar-benar payah.

Ingin rasanya berprinsip, “Ikuti arus ajah...” tapi aku takut kelanjutannya, “.... ke laut ajah”. Hiiiiiiiiiiiii

Kalau aku begini terus, lama kelamaan aku hanya akan kehilangan arah. Melangkah mendekati para ‘pahlawan’ atau justru ‘pecundang’. Tergantung kubu mana yang daya tariknya lebih kuat. Tapi aku... tidak ingin menjadi seperti itu. Aku harus memegang kemudi atas hidupku sendiri karena aku dan hidupku bertumpu pada hati dan pikiranku.

Table Manner

Kalau aku nonton film-film Eropa, terutama yang bercerita tentang kehidupan para bangsawan atawa para konglomerat, terlihat sekali betapa manner sangat diperhatikan, termasuk table manner. Bagaimana cara melipat lap, memegang sendok, garpu, dan pisau, bagaimana cara duduk yang berwibawa, hhmpfh... semua ada aturannya. Entah siapa yang membuat aturan tersebut, dan entah kenapa semua orang seperti berlomba-lomba ingin mengikutinya.

Lalu aku kembali ke dunia nyata. Aku melihat orang-orang Indonesia yang kutemui di sekitarku. Aku juga melihat diriku sendiri. Ketika berada di suatu jamuan makan yang ramai dan berkelas, secara otomatis table manner ala Eropa akan berlaku. Atau... ketika makan bersama orang-orang tertentu (dimana kita harus terlihat perfect di hadapannya), maka dengan sendirinya gaya makan sok bangsawan tersebut akan digunakan. Pentingkah? Lalu apakah memang seharusnya seperti itu?!

Aku ingat diriku. Ketika makan di rumah, bersama keluarga dan orang-orang terdekatku, aku bisa makan sebagaimana gayaku. Aku bisa makan sebagaimana yang aku inginkan. Kalo lagi pengen pake tangan ya pake tangan, kalo lagi males ngotorin tangan ya pake sendok. Trus, duduknya juga gak mesti di meja makan. Bisa jadi sambil nongkrong di depan TV, atau sambil bersila di atas kursi makan. Yang jelas, suka-suka aku ajah. Gak begitu memperhatikan manner banget (tapi tetap dengan etika). Tapi coba kalau aku lagi makan di luar, di restoran misalnya. Gak mungkin kan bisa sambil ngangkat kaki ikutan naik ke kursi, huehehehe.... Alhasil, table manner ala Eropa pun bakal kuadopsi.

Nah, sekarang aku ingin melihat sisi yang lain. Gimana pendapat kamu jikalau melihat orang-orang (desa) yang makan dengan lahap, pake tangan sampe berantakan, seolah-olah dah berapa hari gak makan? Mereka makan dengan gaya yang jauh dari table manner ala Eropa. Mereka ya mana ngerti gaya makan gituan. Wong makan pake sendok garpu aja gak ngerti. Apakah mereka tidak sopan? Apakah mereka tidak punya etika?

Tidaklah bijak jika kita menuduh mereka tidak beretika. Toh mereka tetap menggunakan etika makan yang berlaku di daerahnya masing-masing. Mungkin etika yang berlaku di daerah mereka beda jauh dengan table manner ala Eropa. Tapi bukankah dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Maka hargailah gaya makan mereka, dan kurasa kita gak perlu pake acara sok keeropa-eropaan demi menaikkan gengsi di depan orang-orang yang gak tahu apa-apa tersebut.

Intinya... fleksibel ajah fren. Table manner itu penting, tapi bukan sebagai ajang gaya. Toh, etika makan yang sebenarnya sudah ada dalam Islam... dan kita tinggal mengikutinya.

(ide dari Inga)

Rabu, Juni 25, 2008

Sendiri Itu Indah

Pernah terbaca kata2 di sebuah halaman web, “Sendiri itu indah”. Yah, aku setuju, setidaknya sampai aku melangkah sejauh ini. Kenapa indah?! Karena dengan sendiri aku bisa merasa bebas, laper... ya makan, pengen jalan... oke, pergi... ayo, semua bebas karena belum ada beban untuk mengurus hidup ‘anak orang’. Apalagi jadi perantau yang jauh dari orang tua, segala sesuatunya gak perlu pake izin. Tinggal tergantung diri sendiri ingin memilih hidup yang seperti apa.

Sepi... memang. Tapi itulah pelajaran hidup. Jika terasa sepi, maka diri ini harus punya tameng sendiri. That’s what friends are for. Hampa... juga. Tapi itulah warna dunia. Jika hampa mendera, maka hati ini harus punya cadangan semangat. Kenapa harus pusing, masih banyak telinga-telinga yang bersedia menjadi pendengar, masih banyak lidah-lidah yang bersedia berbagi cerita. Dan yang pasti... selalu ada Dia yang tidak akan pernah kehabisan stok cinta.

Jika ada dia, akan ada yang hilang. Hilang sedikit kebebasan. Tapi itulah konsekuensinya. Maka nikmatilah saat ini, saat belum ada intervensi, saat belum ada beban dan tanggung jawab. Nikmatilah, karena waktu itu tidak akan pernah terulang. Waktu bukanlah sebuah putaran, melainkan sekedar deret kontinyu yang tidak akan berulang. Saatnya memperkaya diri dengan berbagai pengalaman. Saatnya mengunjungi banyak tempat, berpetualang kesana kemari... hmmh... betapa hidup ini menyenangkan.

Dan memang
Sendiri itu indah
Tapi bahagia bila bersamanya...

Beauty… is Only Skin Deep (REALLY??!)

Cantik. Mungkin itulah yang menjadi impian jutaan wanita di dunia. Entah kenapa seolah-olah dunia hanya akan berpihak pada wanita cantik. Sementara itu, para wanita yang ‘dianggap’ tidak cantik... bahkan dunia pun tak akan sudi untuk menoleh. Benarkah begitu?

Lalu muncullah kata ‘kepribadian’. Kata ini diusung untuk menjatuhkan pamor kata ‘cantik’. Bahwa pada dasarnya kecantikan itu bukan hal yang utama, bahwa pada hakikatnya bukanlah kecantikan yang menentukan nilai dari seseorang. Adalah kepribadian. Ia lah yang sesungguhnya memegang peranan penting. Tak guna rupa nan elok tanpa balutan pribadi nan rupawan. Begitulah kira-kira kata pepatah, kata bijak, juga nasehat para orangtua untuk anaknya.

Tapi benarkah kecantikan itu tidak penting? Benarkah bahwa kecantikan itu bukan yang utama? Hmpfh, not absolutely right. Siapa yang menggembar-gemborkan isu kecantikan itu tidak penting? Adakah? Seberapa kuat pun seseorang itu menghibur dirinya dengan mengatakan bahwa kecantikan itu tidak penting, toh sebenarnya dia hanya membantu membuat dirinya sendiri merasa nyaman.

Mari kita lihat, ada berapa banyak intimidasi dan ketidakadilan di luar sana hanya karena masalah kecantikan. Ajang-ajang kontes putri daerah mengusung segi kecantikan. Kerja sebagai sales juga diutamakan yang cantik. Menjadi pegawai bank juga dicari yang berpenampilan menarik. Dari sini saja sudah bisa dilihat betapa ada ketimpangan, betapa ada ketidaknormalan tata kehidupan. Bahkan jika kita tanya mengapa, kita juga tidak akan bisa memuaskan rasa ingin tahu kita sendiri.

Apapun itu... menurutku cantik itu penting, tapi tetap... ia bukanlah yang utama. Mungkin aku hanya teoritis, tapi sebagai seorang manusia aku tahu derajatku sama dengan manusia yang lain. Sebagai seorang wanita, aku juga yakin aku berhak dihargai sebagaimana wanita yang lain. Semuanya hanya tergantung bagaimana kita ingin dianggap, dan seberapa besar diri kita ingin dihargai. Dan yang terpenting... seberapa besar cinta Sang Pemilik pada kita yang merasa ‘cantik’ ini.

(untuk seorang teman yg belum yakin sepenuhnya makna diri)

Fasilitas Versus Pengabdian

Ibarat menonton sebuah film, kadangkala lakon kehidupan dimainkan begitu dramatis. Seperti halnya seorang guru yang mengabdikan dirinya untuk mengisi tangki ilmu anak-anak di pedalaman. Atau seorang dokter yang mengorbankan dirinya tenggelam dalam sunyi senyap desa terpencil demi melihat senyum warga yang merasa telah sembuh. Juga seorang yang religius dengan ambisi ketawadu’annya yang menceburkan diri dalam alam. Semuanya... seringkali tampak begitu sempurna di mataku. Semuanya... seringkali tampak begitu indah dalam pandanganku.

Aku pernah berpikir ingin menjadi seperti mereka, yang ‘mengabdikan’ diri dan hidupnya demi orang lain, demi komunitas sosial, demi sesama, dan dengan ikhlas. Kenapa ikhlas, karena mereka benar-benar mengabdi; mungkin tanpa bayaran, atau dengan imbalan seadanya sekedar untuk memnuhi kebutuhan jasadiyah. Jauh dari segalanya, jauh dari keluarga, jauh dari keramaian... dan jauh dari fasilitas.

Aku juga pernah berpikir bahwa dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di daerah yang jauh dari keluarga adalah suatu bentuk pengabdian. Tapi pikiranku langsung dipatahkan oleh kata-kata seorang teman, “Apanya yang mengabdi??! Wong kamu dibayar kok, digaji. Kalau kamu gak digaji... itu baru namanya mengabdi...” Yah, meski dengan nada bercanda dia berujar seperti itu, tapi tetap membuatku berpikir kembali... “Iya juga yah, hehehe”.

Bagaimana rasanya jauh dari fasilitas? Bagaimana rasanya bila terbiasa make listrik seenaknya, eh tiba-tiba harus tinggal di daerah yang listriknya sering mati (bukan daerahku seh..)? Bagaimana rasanya jika terbiasa dengan kemudahan akses internet tiba-tiba harus berada di daerah yang tidak bisa akses internet? Bagaimana rasanya jika terbiasa masak nasi langsung nyolokin magic com tapi tiba-tiba harus kembali pake periuk? Bagaimana rasanya? Mungkin tidak perlu dijawab. Yang jelas kesimpulannya adalah: ternyata susah ya kalau harus jauh dari fasilitas...

Maka dari itu, aku benar-benar salut dengan mereka yang benar-benar ‘mengabdi’. Aku salut dengan jiwa dan semangat mereka. Aku salut dengan stok kesabaran mereka. Karena dengan jujur kuakui, ternyata sangat tidak enak berada jauh dari fasilitas...

(terinspirasi dari seorang teman)

Kenapa

Kenapa?

Kenapa manusia senantiasa mengeluh?
Kenapa manusia senantiasa tidak puas?
Kenapa manusia selalu meminta dan meminta?

Lalu aku...
Kenapa aku senantiasa lemah di kala kuat harus di sisiku?
Kenapa aku senantiasa rapuh ketika tegar seharusnya menjadi temanku?
Kenapa manja melingkupiku ketika kemandirian yang seharusnya terpelihara?
Kenapa aku merasa terluka di saat tiada yang mengoyakku?
Kenapa kini begitu mudah tangis mendera?
Kenapa sekarang waktu-waktu yang lalu terasa begitu sempurna?
Begitu indah untuk dikenang... tapi terasa begitu menyakitkan.

Kenapa...
Bahkan aku pun bertanya, kenapa roda kehidupan tidak pernah berhenti berputar?
Aku bahkan bertanya, kenapa skenario ini yang harus kujalankan?
Andai aku tidak punya iman, jika aku tidak punya Islam
Dan kalau aku tidak punya Dia...
Entah kemana akan kubawa keyakinanku
Entah dengan apa akan kumainkan peranku

Penuh kenapa dalam jiwaku
Tapi kucoba tetap bertahan dengan prinsipku
Allah will always answer my requests
Not always with a YES
But always with THE BEST


(dalam hening dan kekacauan hati yang tak beralasan)

Senin, Juni 23, 2008

Genap 1 Minggu

Sabtu, 21 Juni 2008

Meski sabtu, kami tetep ngantor. Bnr2 neh g mau mati bosen di kost g bs ngapa2in... jd mending ngantor ajah. Duh, rajinnya... Selain itu, kami jg penasaran mw nyobain motor dinas, makanya ngantor... uups :-D.

Hari Keenam

Jumat, 20 Juni 2008

Hr ini kami kedatangan tamu dari Curup, urusan lelang buat bangun kantor baru. Lumayan, menambah kenalan, selain jg dpt makan siang gratis, hehe...

Hari Kelima

Kamis, 19 Juli 2008

Hr kedua listing di blok yg sama, psr muara aman.

Malam ini aq nginep di tempat Yuk Mely. Msh terbayang kenangan semalam... ada binatang sebangsa cicak yg merayap di dinding, gede, item, takut banget aq... sampe merinding + g enak tidur.

Hari Keempat

Rabu, 18 Juli 2008

Hari ini tim SUSENAS SAKERNAS-ku mulai listing ke lapangan. Mulai jam 10-an di pasar muara aman. Pengalaman pertama turun di Lebong.

Pulang ke kost aq kembali stres. Kenapa aq belum PW juga :-(.

Hari Ketiga

Selasa, 17 Juli 2008

Hr ini msh blm ada kerjaan. Bos blm balik, jd aq jg msh blm jelas di bagian apa.

Aq stres di kost. Rumahnya sederhana, lantai semen biasa, dah pecah2 lg. Ada byk sarang burung di dalam rumah. Ada monyet yg diawetkan di atas lemari. Serem... Yg plg penting, aq g sreg sama kamar mandinya. Gelap, dipakai 3 rumah, untung g bau. Pokoknya bnr2 kesterilanku tergadaikan disini.

Kamarku... hh begitulah. Sedih nyeritainnya.

Hari Kedua

Senin, 16 Juni 2008

Hr ini pertama ngantor. Hr ini jg rencana mw liat kostan yg dah dicariin Yuk Mely buatku.

Jam 8 kurang berangkat ke kantor. Hmm, jd ini kantor BPS Lebong. Meski msh ngontrak, kantornya lmyn gede, rapi, bersih, meja+kursiku jg baru, msh licin :-D.

Siangnya deal kost-an, meski jujur aq kurang sreg. Kondisinya bnr2 seadanya. Tp mw gmn lg, wong aq jg gak enak ma Yuk Mely yg dah nyariin. Malamnya angkat2 barang, dan aq pindah.

Hari Pertama

Minggu, 15 Juni 2008

Dijemput travel sekitar jam 3 sore, aq berangkat ke Lebong bareng Yuk Mely. Travelnya sempit... uups blm apa2 udah ngeluh.

Perjalanan berliku2 antara Bengkulu-Kepahiang, tapi Curup-Muara Aman lebih parah. Selain berliku, jalannya jg sempit.

Sampe di kost Yuk Mely jam 20.30-an. Rumahnya bagus, keramik, g kalah dg kota. Utk kesan pertama bisa dibilang menggoda... selanjutnya... g tw jg yah :-)