Sabtu, Agustus 09, 2008

Responden SUSENAS-ku

SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) besar tahun ini tim-ku kebagian empat blok, semuanya deket-deket, paling jauh hanya 15 menitan dari kantor. Akhir Juli kemarin sesuai jadwal, pencacahan lapangan sudah selesai. Sepanjang perjalanan SUSENAS-ku (halah... baru sekali ini), ada dua responden yang menarik.

Responden pertama

“Gimana ya Wee, si Fulan ini kata tetangganya istrinya cowok juga... jadi ceritanya istrinya itu waria, mereka berdua tu homo. Ganti sampel aja kali ya...” Pencacahku memulai ceritanya. Waduh mbak... mana bisa ganti sampel seenaknya gitu. Kalo dah kena sampel ya harus dicacah, kecuali kalo ada sesuatu dan lain hal yang membuat Si Responden gak bisa dicacah.

Fulanah Salon... begitulah tulisan di depan rumahnya. Kami disambut oleh Mbak Fulanah si empunya salon. Penampilannya cewek banget dengan rambut panjang terurai, rok yang agak mini, dan gaya yang kemayu. Tapi siapapun gak bisa dibohongi bahwa jenis kelamin sebenarnya masih berkode 1.

Untuk responden satu ini, nanyainnya harus smooth, takut dia tersinggung. Ternyata Fulan dan Fulanah memang hanya tinggal berdua. Rumah yang mereka tempati adalah rumah orangtuanya Fulanah. Masalah konsep ‘hubungan dengan kepala rumah tangga’, biarlah Innas yang menyelesaikannya . Tapi ada hal yang menarik, di dinding ruang tamu yang sekaligus salon itu, terpajang beberapa foto akhwat berjilbab panjang dalam beberapa momen. Siapakah itu?

Responden Kedua

“Waaah dwee, kenapa Si A yang jadi sampel, ganti aja Wee, aku gak mau nyacahnya, ngeri...”, pencacahku mulai mengungkapkan keberatannya. “Loh kenapa?”, ujarku. Hmm, usut punya usut ternyata responden yang satu ini adalah seorang duda, cerai hidup (kode 3) dengan istrinya, dan tinggal hanya dengan satu orang anak laki-lakinya yang agak punya kelainan. Si A sendiri menurut salah seorang mitra, suka ngintipin orang mandi, juga suka colak colek ataupun pegang-pegang cewek. Katanya (gak inget siapa yang ngomong), sebelum bercerai Si A juga sering melakukan KDRT. Lengkap banget...

Sewaktu nyacah di rumah responden lain yang satu blok dengan Si A, responden tersebut bertanya, “Rumah siapa lagi mbak yang ditanyain?”. Pencacahku menjawab, “Rumah Si A”. Ekspresi wajah si responden berubah sambil berujar “Hiii... ntar kalian di...” sambil tangannya bergerak kesana kemari dengan gaya yang menyeramkan. Aku tambah penasaran.

Untuk nyacah Si A, kami harus mendatangi sawahnya karena dia jarang banget di rumah. Salah seorang mitra BPS yang cowok bersedia menemani. Berangkatlah kami ke sawah Si A. Inilah kali pertama aku berjalan-jalan di antara padi (norak banget yah...). Aku menganggapnya petualangan. Hmm, ternyata para petani lagi pada panen. Area persawahan dipenuhi orang-orang yang lagi panen. Kalo rame gini mana berani Si A macem-macem.

Setelah bertemu Si A, pencacahku langsung bertanya, ingin cepat-cepat selesai. Aku hanya memandangi Si A dari atas sampai bawah. Hmm, tidak semengerikan yang kubayangkan. Sepertinya ia seorang pekerja keras. Tetapi ekspresi dan tanggapan orang-orang yang berada di sana tentang kami yang mendata Si A sudah cukup membuktikan bahwa Si A memang berbeda.

-----

Alhamdulillah selesai sudah pencacahan lapangan SUSENAS kali ini. SAKERNAS sudah menanti. Pandanganku benar-benar telah diperlebar dan ditunjukkan... betapa penuh warnanya hidup ini.

Kosong

Sudah sekitar satu bulan aku di sini. Sudah banyak juga pertanyaan yang terlontar, “Gimana Wee,betah?”, dan pasti kujawab, “Yaa... dibetah-betahin.” Karena aku sadar, aku gak boleh buang-buang energi dengan merasa ‘capek hati’ untuk waktu yang aku sendiri tidak tahu berapa lama.

Muara Aman, kota yang sebulan ini menemani hari-hariku. Kemarau gini, dinginnya Subhanallah di pagi hari, dan terik siangnya juga Subhanallah. Hari pertama terasa sepi, tapi sekarang mulai terasa ramai. Minggu pertama terasa ndeso, namun sekarang mulai terasa ada peradaban. Kalau dipikir-pikir, aku sejak awal sudah tersugesti negatif, dan nyatanya hingga detik ini tidak semua sugestiku terbukti.

Apa kerjaku di sini? Senin - Jumat jam 8 - 16 (tapi sering molor sampe jam 17), Sabtu juga aku ngantor. Maklumlah, bukan di ‘rumah’ sendiri, jadinya gak betah kalo harus di rumah aja seharian. Makan tinggal makan, gak pake masak. Kerjaan kantor banyak, mulai dari survei, publikasi, juga kerjaan rutin. Tapi nyatanya aku senang.

Jarang ada tidur larut seperti dulu. Jarang nge-game seperti dulu. Semua waktuku terasa terkuras, padahal aku sendiri tidak tahu... untuk apa saja waktuku habis. Hari-hari menjadi tak terasa. Hhh, kalo kaya gini terus, bisa-bisa bakal lupa merid neh, huehehe...

Aku senang karena tak harus bengong. Aku bahagia karena tak harus bingung apa yang akan dikerjakan. Aku bersyukur karena waktuku termanfaatkan. Tapi entah kenapa, aku merasa hampa. Kosong... Tak bisa kupungkiri, aku butuh komunitas.