Senin, Februari 23, 2009

Pindah...

Blognya pindah ke http://23tahun.blogspot.com
Tengkyu...

Sabtu, Agustus 09, 2008

Responden SUSENAS-ku

SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) besar tahun ini tim-ku kebagian empat blok, semuanya deket-deket, paling jauh hanya 15 menitan dari kantor. Akhir Juli kemarin sesuai jadwal, pencacahan lapangan sudah selesai. Sepanjang perjalanan SUSENAS-ku (halah... baru sekali ini), ada dua responden yang menarik.

Responden pertama

“Gimana ya Wee, si Fulan ini kata tetangganya istrinya cowok juga... jadi ceritanya istrinya itu waria, mereka berdua tu homo. Ganti sampel aja kali ya...” Pencacahku memulai ceritanya. Waduh mbak... mana bisa ganti sampel seenaknya gitu. Kalo dah kena sampel ya harus dicacah, kecuali kalo ada sesuatu dan lain hal yang membuat Si Responden gak bisa dicacah.

Fulanah Salon... begitulah tulisan di depan rumahnya. Kami disambut oleh Mbak Fulanah si empunya salon. Penampilannya cewek banget dengan rambut panjang terurai, rok yang agak mini, dan gaya yang kemayu. Tapi siapapun gak bisa dibohongi bahwa jenis kelamin sebenarnya masih berkode 1.

Untuk responden satu ini, nanyainnya harus smooth, takut dia tersinggung. Ternyata Fulan dan Fulanah memang hanya tinggal berdua. Rumah yang mereka tempati adalah rumah orangtuanya Fulanah. Masalah konsep ‘hubungan dengan kepala rumah tangga’, biarlah Innas yang menyelesaikannya . Tapi ada hal yang menarik, di dinding ruang tamu yang sekaligus salon itu, terpajang beberapa foto akhwat berjilbab panjang dalam beberapa momen. Siapakah itu?

Responden Kedua

“Waaah dwee, kenapa Si A yang jadi sampel, ganti aja Wee, aku gak mau nyacahnya, ngeri...”, pencacahku mulai mengungkapkan keberatannya. “Loh kenapa?”, ujarku. Hmm, usut punya usut ternyata responden yang satu ini adalah seorang duda, cerai hidup (kode 3) dengan istrinya, dan tinggal hanya dengan satu orang anak laki-lakinya yang agak punya kelainan. Si A sendiri menurut salah seorang mitra, suka ngintipin orang mandi, juga suka colak colek ataupun pegang-pegang cewek. Katanya (gak inget siapa yang ngomong), sebelum bercerai Si A juga sering melakukan KDRT. Lengkap banget...

Sewaktu nyacah di rumah responden lain yang satu blok dengan Si A, responden tersebut bertanya, “Rumah siapa lagi mbak yang ditanyain?”. Pencacahku menjawab, “Rumah Si A”. Ekspresi wajah si responden berubah sambil berujar “Hiii... ntar kalian di...” sambil tangannya bergerak kesana kemari dengan gaya yang menyeramkan. Aku tambah penasaran.

Untuk nyacah Si A, kami harus mendatangi sawahnya karena dia jarang banget di rumah. Salah seorang mitra BPS yang cowok bersedia menemani. Berangkatlah kami ke sawah Si A. Inilah kali pertama aku berjalan-jalan di antara padi (norak banget yah...). Aku menganggapnya petualangan. Hmm, ternyata para petani lagi pada panen. Area persawahan dipenuhi orang-orang yang lagi panen. Kalo rame gini mana berani Si A macem-macem.

Setelah bertemu Si A, pencacahku langsung bertanya, ingin cepat-cepat selesai. Aku hanya memandangi Si A dari atas sampai bawah. Hmm, tidak semengerikan yang kubayangkan. Sepertinya ia seorang pekerja keras. Tetapi ekspresi dan tanggapan orang-orang yang berada di sana tentang kami yang mendata Si A sudah cukup membuktikan bahwa Si A memang berbeda.

-----

Alhamdulillah selesai sudah pencacahan lapangan SUSENAS kali ini. SAKERNAS sudah menanti. Pandanganku benar-benar telah diperlebar dan ditunjukkan... betapa penuh warnanya hidup ini.

Kosong

Sudah sekitar satu bulan aku di sini. Sudah banyak juga pertanyaan yang terlontar, “Gimana Wee,betah?”, dan pasti kujawab, “Yaa... dibetah-betahin.” Karena aku sadar, aku gak boleh buang-buang energi dengan merasa ‘capek hati’ untuk waktu yang aku sendiri tidak tahu berapa lama.

Muara Aman, kota yang sebulan ini menemani hari-hariku. Kemarau gini, dinginnya Subhanallah di pagi hari, dan terik siangnya juga Subhanallah. Hari pertama terasa sepi, tapi sekarang mulai terasa ramai. Minggu pertama terasa ndeso, namun sekarang mulai terasa ada peradaban. Kalau dipikir-pikir, aku sejak awal sudah tersugesti negatif, dan nyatanya hingga detik ini tidak semua sugestiku terbukti.

Apa kerjaku di sini? Senin - Jumat jam 8 - 16 (tapi sering molor sampe jam 17), Sabtu juga aku ngantor. Maklumlah, bukan di ‘rumah’ sendiri, jadinya gak betah kalo harus di rumah aja seharian. Makan tinggal makan, gak pake masak. Kerjaan kantor banyak, mulai dari survei, publikasi, juga kerjaan rutin. Tapi nyatanya aku senang.

Jarang ada tidur larut seperti dulu. Jarang nge-game seperti dulu. Semua waktuku terasa terkuras, padahal aku sendiri tidak tahu... untuk apa saja waktuku habis. Hari-hari menjadi tak terasa. Hhh, kalo kaya gini terus, bisa-bisa bakal lupa merid neh, huehehe...

Aku senang karena tak harus bengong. Aku bahagia karena tak harus bingung apa yang akan dikerjakan. Aku bersyukur karena waktuku termanfaatkan. Tapi entah kenapa, aku merasa hampa. Kosong... Tak bisa kupungkiri, aku butuh komunitas.

Kamis, Juli 10, 2008

Bengkulu I'm in LOVE

Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengar nama Bengkulu? Gempa? Tsunami? Atau apa? Kalau aku yang ditanya kaya gitu, maka jawabanku adalah Bengkulu itu panas. Yupz... memang panas banget kok, sinar mataharinya terik. Serupa-lah dengan tetangganya SumSel. Teriknya itu bikin aku muales banget ketemu langsung dengan sinar matahari di siang hari.

Masalah gempa... hmm mungkin memang sudah dari sononya Bengkulu terkenal dengan gempanya. Dan itu bukan sekedar isu. Aku sendiri telah membuktikannya. Baru dua minggu di Bengkulu, sudah terjadi 6 gempa yang pada umumnya dirasakan orang-orang sini. Karena aku belum terlalu sensi, dari 6 gempa itu hanya 1 gempa yang aku bisa rasakan, huehehehe. Kalo gempa kecil-kecilnya, waah... jangan ditanya jumlahnya. Menurut data (gak tahu data darimana), dalam 1 bulan bisa terjadi 200-an gempa di Bengkulu.

Bengkulu juga sepi. Untuk ukuran ibukota propinsi, kalah jauh lah dengan Palembang (lagian... ngebandinginnya sama Palembang). Lalu lintasnya tidak begitu padat, gak ada macet, gak ada bus kota, jumlah pertokoan dan pusat perbelanjaan gak seberapa (sekali lagi dibanding Palembang), juga gak ada Gramedia (belum aja kali). Dari sini saja aku sudah bisa melihat bahwa masyarakat sini gaya hidupnya tidak terlalu hedonis. Hmm, ini pujian loh...

Jadi?! Yea, Bengkulu itu panas dan sepi. Tapi nyatanya aku suka. Bengkulu memang terik, tapi kalau aku duduk-duduk di teras kantor di siang hari yang terik itu, hembusan angin sepoi-sepoi yang kurasakan bisa mengalahkan teriknya mentari. Bengkulu memang panas, tapi meriahnya pantai di sore hari serta indahnya sunset bisa membuatku lupa akan panas yang mendera.

Tidak banyak pertokoan di Bengkulu. Tapi selama semua kebutuhan hidupku bisa kupenuhi, selama barang-barang yang aku butuhkan bisa aku dapatkan, aku gak butuh ada banyak toko di sini. Memang gak ada bus kota di Bengkulu. Tapi selama aksesku ke tempat tujuan berjalan lancar gak pake macet, aku juga tidak mengharapkan ada bus kota di sini.

Bengkulu memang jauh dari rumah orangtuaku. Tapi selama ada orang-orang yang peduli, selama banyak bibir yang menyapa ramah, mata yang bersinar tulus, telinga yang senantiasa mendengar, juga hati yang senantiasa dekat... setidaknya semua bisa menjadi pengobat rindu. Aku bersyukur berada di lingkungan keluarga besar BPS Propinsi Bengkulu, yang dipenuhi wajah-wajah ramah, senyum tulus, serta kepedulian yang nyata. Semua itulah yang membuatku merasa betah di sini. Bengkulu I’m in love... dan semoga semua selalu berjalan sebagaimana mestinya.

Kamis, Juni 26, 2008

Kangen Baturaja-Ku

Ngomongin soal Lebong... udah. Sekarang saatnya ngomongin daerah tempat tinggal orangtuaku, kampung halamanku juga. The Kingstone City . Yupz... Baturaja namanya. Ibukota kabupaten OKU (sekarang OKU pecah jadi 3, yaitu OKU (Baturaja), OKU Timur (Martapura), dan OKU Selatan (Muara Dua). Dengan demikian, Baturaja termasuk kota lama (baca: kabupaten lama).

Aku tidak lahir di Baturaja, tapi sebagian besar umurku kuhabiskan di sana. Di sana lah kedua orangtuaku tinggal. Di sana lah rumah yang paling nyaman bagiku berdiri. Dan di sanalah tempat yang senantiasa aku ingat saat aku jauh, tempat yang aku nantikan untuk menginjaknya kembali ketika aku merantau.

Baturaja adalah ibukota kabupaten. Tidak ada mall, tapi ada banyak mini market dan toserba. Sekedar Ramayana... ada. KFC juga ada. Baturaja juga punya Islamic Centre, gedung olahraga, juga kolam renang standar internasional (katanya...). Sekedar ingin mencari sepatu-sepatu atau baju-baju bermerek... bisa. Angkot... jangan ditanya jumlahnya. Buanyak... Ojek... bertebaran di jalan-jalan, warna warni lagi, soalnya ojek-ojek itu punya ciri, tukang ojeknya menggunakan rompi kebesaran dengan warna-warna mencolok. Hhh, benar-benar jauh dengan Lebong, padahal sama-sama ibukota kabupaten... (stop ngebanding2in!).

Sebenarnya kenapa aku selalu ngebanding-bandingin tempat tugasku dengan tempat tinggal orangtuaku... Jawabannya adalah karena di daerahku sendiri (Baturaja) aku punya fasilitas. Aku gak perlu pusing cari makan di Baturaja karena selalu ada makanan di rumah. Sementara di Lebong aku harus jadi ‘ayam’ yang cari makan kesana kemari (itu mah dasar aku males ajah... ). Di Baturaja juga aku gak perlu pusing-pusing nyari angkot (wong angkotnya tidak sedikit), jalan-jalan sekeluarga juga enak, makan malam di luar bersama (di Baturaja ada banyak rumah makan lesehan), atau sekedar mengunjungi saudara juga gak perlu pusing.

Dan di Baturaja, di rumahku... aku bisa bikin es batu sepuas hatiku....

Aku kangen... Aku rindu...
Kangen semuanya, wajah-wajah orang terdekatku, suasana rumahku, kucing-kucing lucu teman ibuku...
Tapi aku tidak boleh lari dari kenyataan. Kenyataan bahwa kini aku tidak sedang berada di sana. Biarlah aku menyimpan rinduku, dalam relung hatiku yang paling dalam... karena kuyakin akan ada saatnya rindu itu tersalurkan dengan sempurna.

Lebong in My Mind

Minggu ini adalah minggu kedua aku menginjakkan kaki di kabupaten yang bernama Lebong. Sebuah kabupaten baru di Propinsi Bengkulu, pecahan dari Kabupaten Rejang Lebong (ibukotanya Curup). Kabupaten Lebong ibukotanya Muara Aman. Di kota inilah aku bertugas. Kota?? Tentu... Bukankah ibukota kabupaten itu sudah termasuk kategori kota. Tapi...

Perjalanan ke Muara Aman dari ibukota propinsi melalui Curup. Aku ingat perbatasan Rejang Lebong (Curup) dengan Lebong adalah suatu tempat yang namanya Air Dingin. Setelah travel berhenti di tempat itu (untuk istirahat), selanjutnya masuklah aku di wilayah Lebong. Kecamatan pertama yang menyambutku adalah Rimbo Pegadang. Aku gak tahu kecamatan tersebut seperti apa sebenarnya. Yang aku tahu adalah sepanjang jalan dipenuhi hutan rimba, semak-semak, bukit, dan jurang. Jalannya berkelok-kelok (lebih berkelok daripada Puncak), sempit, dan gelap. Kalo driver-nya gak pengalaman, waah bahaya...

Dalam hati aku berpikir, inikah Lebong? Hmm, benar-benar masih alami (wong hutan semua, hehehe). Dua jam kemudian sampailah aku di pusatnya Lebong, Muara Aman. Aku kembali berpikir, beginikah Muara Aman? Aku tahu dan sadar bahwa Lebong adalah kabupaten pemekaran. Jadi, aku juga tidak berharap akan menemukan pusat kota yang ramai, dipenuhi mall, dan jejeran toserba. Tapi tak bisa dipungkiri, aku syok juga melihat kenyataan bahwa aku akan berada di sini, tinggal di sini, untuk waktu yang aku sendiri tidak tahu sampai kapan.

Satu kata sebagai kesan pertama untuk Muara Aman... ndeso. Gak ada toserba (apalagi mall), gak ada warnet (isunya sih ada satu, tp gak jelas gitu), gak ada angkot, adanya angdes, hehe, ada juga ojek gandeng (becak motor) yang jumlahnya lumayan lah. Trus ada juga kok angkot (baca: angdes) yaitu mobil yang terbuka di bagian belakang, tapi kayanya jumlahnya terbatas degh, nyatanya aku jarang banget liat. Bener-bener masih desa dan jauh dari fasilitas. Namun demikian, sinyal indosat (terutama gprs-nya) kuat, inilah yang membuatku lumayan bahagia internetan di Lebong, soalnya sepertinya masyarakat sini gak banyak yang ngenet, jadi kan gak rebutan bandwidth, wekekekek. Selain itu, jika tanpa satelit (pake antena biasa), di Lebong masih bisa nonton RCTI. Coba kalo di kabupaten lain, puas-puas ajah nonton TVRI doang.

Bagaimana kantor BPS Kabupaten Lebong? Hmm, kantornya masih ngontrak, tapi nyaman. Ruangannya gede dan (lumayan) banyak, bersih, dengan jumlah pegawai cuma 5 orang termasuk aku, dan 1 penjaga kantor. Tidak ada KSK di sini. Kemarin sih ada 1, tapi awal Juni dah pensiun. Bayangkan gimana tuh kerjanya tanpa KSK. Bener-bener pegawainya kerja rodi (lebay neh ceritanya), kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Tapi nyatanya, kerjaan semua beres...

Di kantor fasilitasnya lumayan. Jumlah meja dan kursinya melebihi jumlah pegawai yang ada. Masih baru-baru lagi. Aku yang baru datang ajah dikasih meja Kasie, hehehe. Komputer juga cukup. TV ada, dispenser tersedia, bahkan ada kompor gas (tapi pernah kucoba nyalain... ternyata gak ada gasnya, mungkin karena gak ada yang masak kali ya). Trus, ada 1 motor dinas (tadinya dipake KSK) yang nganggur lalu diserahin ke Yuk Meli (aku nebeng ajah...). Oh iya, Kepala Kantor-nya cowok, Kasubag TU juga cowok, Kasie IPDS juga cowok (STIS angkatan 40), penjaga kantor juga cowok (ya iyalah...), ceweknya cuma Yuk Meli (STIS angkatan 44), dan aku.

Hhh, begitulah Lebong dan begitulah BPS Kabupaten Lebong. Menurutku sebagai kabupaten baru Lebong punya banyak potensi, tapi sayang belum dikelola dengan maksimal. Liat ajah, jalan di pusat kota (di Pasar Muara Aman)-nya jueleknya minta ampun, kaya bukan jalan tapi lorong. Trus, jalan raya di sepanjang Lebong juga sempit. Belum terlihat ada pembangunan yang berarti karena tata kota masih semrawut.benar-benar daerah berpotensi yang terabaikan. Memang Lebong bukan daerah jalur perlintasan, jadi gak dilalui truk-truk atau bus-bus. Tapi bukan berarti pemerintah harus kehilangan kreativitas untuk membuatn daerahnya menjadi menarik untuk dikunjungi bukan?!

Oke, kita lihat saja perubahan apa yang akan terjadi pada kabupaten ini beberapa tahun lagi. Sebagai statistisi aku hanya bisa berusaha maksimal ikut membangun melalui naungan instansi BPS (cieeee cieeee.....). Tapi aku kembali bertanya, sampai kapan yah aku bakal di sini???!

Aku Tidak Punya Impian

Salah seorang teman pernah bercerita betapa ia punya banyak impian. Ada yang sudah tidak mungkin terwujud, tapi ada juga (banyak malah) yang masih mungkin. Aku juga melihat betapa ia begitu antusias dan ambisius dalam mengejar dan mewujudkan mimpinya. Aku melihat usahanya. Aku juga merasakan semangatnya. Begitu hidup, sehingga terlihat bahwa hidupnya lebih terarah karena ia punya target dan rencana.

Semakin sering dia bercerita tentang mimpinya, semakin sering juga aku berpikir, seperti apa impianku?! Aku bingung. Semakin aku berusaha menggali, semakin aku tidak menemukan jawaban. Sekedar jawaban atas pertanyaan “Apa impianku?”.

Apa yang kuinginkan dalam hidup ini? Apa rencanaku? Apa targetku? Kenapa aku sulit menjawabnya... Yang aku tahu hanyalah aku ingin hidup bahagia. Bahagia karena kedua orangtuaku bahagia, juga bahagia karena hidupku memang bahagia. Hanya itu. Tidak ada yang spesifik, tidak ada rencana detil, juga tidak ada target.

“Wee, kapan kamu mau merid?” atau “Wee, 2 tahun lagi apa targetmu?”.... Hhh, aku kelimpungan sekedar untuk menjawab pertanyaan tersebut. Beneran aku belum punya rencana, aku belum ada target. Menyedihkan... Bahkan aku tidak tahu harus membawa hidupku ke arah mana. Aku benar-benar payah.

Ingin rasanya berprinsip, “Ikuti arus ajah...” tapi aku takut kelanjutannya, “.... ke laut ajah”. Hiiiiiiiiiiiii

Kalau aku begini terus, lama kelamaan aku hanya akan kehilangan arah. Melangkah mendekati para ‘pahlawan’ atau justru ‘pecundang’. Tergantung kubu mana yang daya tariknya lebih kuat. Tapi aku... tidak ingin menjadi seperti itu. Aku harus memegang kemudi atas hidupku sendiri karena aku dan hidupku bertumpu pada hati dan pikiranku.